KPR dan IMBT
kpr bank syariah harus sungguh-sungguh melaksanakan syarat ijaarah al-muntahiyah bit-tamlik, supaya lolos dari dua transaksi berbeda dalam satu waktu pada satu benda yang serupa yang dilarang rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
oleh ustad kholid syamhudi, lc
karena inflasi, nilai rumah meroket tinggi serta tak terbeli. bank konvensional menawarkan angsuran kepemilikan rumah (kpr) untuk mereka yang enggak bisa berbelanja rumah dengan cara kontan karna nilainya terus melambung. celakanya, ambisi mempunyai rumah seorang diri enggak memandang halal-haramnya kpr. tidak peduli kalau bank sesungguhnya lagi menjebloskannya dalam tunggakan jangka panjang. yang sadar kalau kpr bermasalah dengan cara syariah, melirik produk kpr bank syariah yang dikasih cap ijaarah al-muntahiyah bit-tamlik (ibmt ). apa pula ini?
beberapa ahli ekonomi syariah mendeskripsikan ibmt sebagai sewa yang diakhiri dengan pengalihan pemilikan benda. semacam kombinasi antara akad jual-beli dan sewa, atau lebih persisnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan benda di tangan penyewa. dalam ibarat lain, imbt merupakan akad sewa-menyewa antara bank syariah serta nasabahnya disertai alternatif kepemilikan benda untuk nasabah di akhir waktu sewa
ibmt bisa dilustrasikan demikian ini. pak ahmad hendak mempunyai rumah. beliau menyampaikan maksudnya ke bank. terjadilah akad imbt. bank berbelanja rumah dengan cara kontan dari pengembang seharga rp 200 juta atas nama bank. bank lalu menyewakan rumah itu ke pak ahmad sepanjang 10 tahun dengan biaya sewa rp 2, 5 juta tiap bulan. sesudah waktu sewa selesai, rumah itu diserahkan ke pak ahmad. jadi, keseluruhan biaya sewa yang disetorkan pak ahmad rp 300 juta.
supaya ibmt tak membentur syariat
para ulama yang terhimpun dalam majlis majma’ al-fiqh al-islami internasional, yaitu anggota dari munazhomah al-mu’tamar al-islami (oki) dalam daurahnya yang ke-12 di riyadh, negara saudi arabia[1] mengartikan patokan imbt yang tak membentur syariat. mereka melaksanakan muktamar dengan mengamati makalah-makalah yang disampaikan pada al-majma’ terkait permasalahan sewa yang selesai dengan pemilikan yang dinamakan ibmt.
majlis majma’ al-fiqh al-islami memilah imbt menjadi dua. pertama, imbt yang haram ialah dua transaksi berbeda pada satu waktu pada satu benda serupa. menurut ajaran ini, beberapa bentuk imbt yang haram ialah:
kedua, syarat bentuk-bentuk imbt yang diperbolehkan:
akibat dari syarat ini ialah:
menurut syarat itu, majma’ fiqh islami memasang beberapa bentuk imbt yang memenuhi standar halal, menjadi selanjutnya:
keadaan yang senada pula difatwakan oleh dewan syariah nasional (dsn) no. 27/dsn-mui/iii/2002 atas imbt yang memaksa terlaksananya akad ijarah dulu, terus akad pengalihan kepemilikan (jual-beli/hibah) cuma bisa dijalani sesudah waktu ijarah beres. karna itu akad pengalihan kepemilikan di awal akad ijarah cuma sebatas al-wa’du atau akad yang karakternya tak melilit. sehingga bila akad itu hendak dilaksanakan, harus ada akad pengalihan kepemilikan yang dijalani sesudah waktu ijarah (sewa) beres. [2]
begitu syarat imbt yang sebaiknya diaplikasikan dalam kpr berplatform syariah, sehingga bisa lolos larangan adanya dua transaksi berbeda dalam satu waktu pada satu benda yang serupa. karna rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual-beli dalam satu jual beli (hr. turmudzi ).
kpr bank syariah gimana? kpr syariah di bumi ini, bila memenuhi patokan imbt yang dibolehkan begitu juga amanat di atas, hukumnya boleh.
semoga allah memudahkan sikap anda menuju terwujudkan kpr ekonomis berplatform syariah. wabillahittaufiq. ***
pull quote:
“ijaarah al-muntahiyah bit-tamlik (ibmt) ialah sewa yang diakhiri dengan pengalihan pemilikan benda. semacam kombinasi antara akad jual-beli dan sewa, atau lebih persisnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan benda di tangan penyewa. dalam ibarat lain, imbt merupakan akad sewa–menyewa antara bank syariah dan nasabahnya disertai alternatif kepemilikan benda untuk nasabah di akhir waktu sewa. ”
penjelasan:
[1] pertemuan ini diselenggarakan pada tanggal 5 jumada al-akhirah 1321 hijriyah sampai awal bulan rajab 1421 h = 23-28 september 2000 m
[2] fatwa ini disampaikan penulis dengan cara lepas tak terikat dengan tulisan fatwanya yang asli.